Oleh: Muhammad Syarwani, Peserta PKU XII Utusan MUI Kaltim

Pembicaraan tentang isu liberalism tidak dapat dipisahkan dari semangat renaissance yang traumatik terhadap agama. Gerakan liberalisasi yang secara literal berarti bebas, pada mulanya merupakan anti klimaks dari tindakan preventif gereja yang berlebihan dalam memastikan hegemoni doktrinnya, sehingga berdampak negatif terhadap segala bentuk kebebasan berpikir dan bertindak, dan tentu saja anti produktif dan anti progresif. Liberalisme sejatinya merupakan upaya pembebasan dalam politik, ekonomi, serta berbagai aspek sosial yang menjanjikan kesetaraan bagi semua orang. Dalam perjalanannya, liberalisme kemudian berkembang menjadi ideologi pembebasan yang juga masuk ke ranah pemikiran, tak terkecuali pemikiran teologis dalam berbagai agama besar yang masih eksis hingga sekarang.

Liberalisme dalam pemikiran teologis merupakan ancaman bagi agama manapun, hal ini dikarenakan liberalisme yang tidak berpegang pada nilai sakral tertentu mengkaburkan hakikat kepasrahan dan ketundukan terhadap doktrin-doktrin agama, dengan mengaburkannya dalam nilai-nilai relativitas. Maka seorang liberal dalam pemikiran keagamaan adalah dia yang tidak lagi berpegang terhadap nilai-nilai sakral dalam agama tersebut.

Dalam konteks pemikiran Islam, mereka yang disebut liberal seharusnya adalah mereka yang tidak lagi berpegang kepada teks-teks suci(Alquran dan Hadist), serta tidak memahaminya dalam koridor berbagai metodologi baku yang telah dibukukan oleh para ulama yang otoritatif di bidangnya. Menurut penulis, ketundukan terhadap otoritas merupakan kata kunci terpenting dalam memahami garis demarkasi antara liberal dan non liberal dalam pemikiran agama Islam. Karena boleh jadi, ada sekelompok orang yang mengaku berpegang kepada teks-teks suci tersebut, namun memahami secara serampangan di luar metodologi-metodologi yang telah digariskan oleh para ulama yang otoritatif. Setia dan mengetahui batas diri di hadapan otoritas para ulama, meskipun tidak memahami dan mempelajari langsung teks-teks suci tersebut, sejatinya adalah berpegang kepada agama, meskipun tidak sempurna.

Hal ini selaras dengan akar historis liberalisme itu sendiri, yang lahir dari rahim posmodernisme yang merubuhkan segala nilai, mulai dari nilai etika sampai akar kebenaran itu sendiri. Liberalisme sebagai salah satu elemen postmodernisme merubuhkan otoritas nilai dan kebenaran, bahkan ke tingkat yang paling radikal dalam tataran epistemologis rasio dan empirik, apalagi agama yang sejak era modern sudah dianggap mistis.

Dari kata kunci inilah kita mendapat pijakan kuat dan jelas dalam menilai dan memilah liberalisme dalam pemikiran keagamaan. Karena boleh jadi, pemikiran yang dikira begitu agamis karena amat literal dalam pemikiran keagamaan, sejatinya merupakan pemikiran liberal yang kontradiktif dengan pemikiran otoritatif dalam arus besar pemikiran Islam. Tidak menutup kemungkinan pula, pemikiran yang terlihat begitu bebas dan cenderung antri mainstream dari arus besar keagamaan, sejatinya masih berpegang kepada nash dan metodologi-metodologi yang otoritatif, meskipun pada akhirnya dianggap lemah ataupun telah tenggelam dalam khazanah-khazanah klasik.

Meskipun begitu, bukanlah hal yang mudah mengetahui mana pemikiran yang benar-benar liberal, dan mana pemikiran yang masih berada dalam koridor perbedaan pendapat yang diakui. Hal ini dikarenakan budaya ilmu yang berkembang selama berabad-abad  oleh putera puteri terbaik peradaban Islam melahirkan kekayaan khazanah yang jarang tersentuh oleh pelajar-pelajar muslim sekalipun. Sebagai contoh, buku al majmu’ syarah al muhadzdzab karangan al Nawawi yang memiliki tebal 30 jilid lebih itu, hanya dibaca oleh segelintir lulusan pesantren, sedangkan lulusan pesantren sendiri bukanlah lulusan yang dominan di negara ini. Belum lagi berbagai metodologi analisis teks(baca:nash ) yang rumit seperti ushul al fiqh dan analisis balaghoh sedikit sekali dikuasai oleh pelajar agama di negeri ini.

Hasilnya, pemikiran liar yang keluar dari otoritas para ulama sejatinya tidak hanya menjangkit mereka yang tidak lagi memiliki ketundukan dan kepasrahan terhadap taklif  Tuhan, namun juga mereka yang telah berusaha tunduk dan pasrah, namun tidak cukup bersemangat dalam mengkaji ilmu pengetahuan yang luas sekali. Aksi saling tuduh liberal, menyalahkan pendapat lain tanpa argument yang sah, serta perasaan benar sendiri juga merupakan problem yang menguras waktu dan energi kaum muslimin dalam membangun peradabannya.

Padahal filsafat peradaban yang dibangun dalam worldview Islam merupakan filsafat moderat yang tidak akan keluar dari koridor pengetahuan objektif, namun menjamin kebebasan berpendapat demi perkembangan peradaban yang lebih baik. Pijakan filsafat dan pandangan hidup Islam memiliki pijakan yang tsawabit, lalu ditopang dengan pilar-pilar muthaghoyyirot yang dinamis. Pijjakan ini secara teoritis lebih potensial dalam menghindari chaos liberalisme ala posmodernisme Barat, namun tetap menjamin kebebasan berpikir dalam membangun peradaban. Islam semaju dan sebebas apapun madzhabnya, selama masih berdiri di atas fondasi dan pilar tsawabit dan muthaghoyyirotnya, perjalanan peradabannya memiliki imunitas genetik terhadap kebingungan liberalisme seperti peradaban Barat. (wallahu a’lam)