Oleh: Muhammad Syarwani, Peserta PKU XII Utusan MUI Kaltim
Peradaban Barat yang terus berkembang dan mendominasi peradaban dunia sekarang, sejatinya merupakan peradaban yang melewati berbagai fase sejarah yang panjang dan penuh dengan dialektika filosofis tanpa akhir. Peradaban Barat yang dimulai dengan era renaissance, merupakan peradaban yang dibangun sebagai antitesa dan perlawanan terhadap agama yang sempat dominan di sana. Agama Kristen yang telah mengalami perubahan sampai ke tingkat paling fundamentalnya, nyatanya tidak mampu menjadi worldview bagi sebuah peradaban yang beradab. Agama yang seharusnya menjadi petunjuk dari Sang Pencipta untuk umat manusia, menjadi pemicu dan pembimbing manusia untuk memaksimalkan akalnya demi memahami hikmah-himah Tuhan dalam ciptaannya, nyatanya menjadi lawan bagi hampir segala aktivitas ilmiah yang ternyata lebih mampu memahami ‘firman-firman Tuhan’ yang dilaksanakan secara konsisten oleh semesta ciptaannya.
Tidak berhenti sampai di sini, masalah semakin rumit ketika agama yang kontra progresif tersebut menjelma menjadi lembaga yang berkuasa dan cenderung otoriter di Barat. Selama beberapa abad, Barat yang masih terkurung dalam tempurung gereja tidak menunjukkan gelagat perlawanan terhadap perbudakan ini. Namun perang salib yang diniatkan untuk mempertahankan dan memperluas eksistensi gereja justru berdampak bomerang terhadap kekuasan mereka. Dari sini masyarakat Barat mulai berkenalan dan aktif berinteraksi dengan agama yang dijamin kesempurnaan dan kemurniannya oleh Sang Pencipta, menjadi cahaya dan basis bagi peradaban intelektual hingga akhir zaman, di saat yang sama dengan mulai redupnya minat umat Islam untuk berpegang teguh terhadap agama tersebut.
Berawal dari trauma sejarah yang panjang terhadap agama, plus ego dan dendam untuk meneruskan peradaban yang mulai redup dari bangsa Arab dan umat Islam yang menjadi ‘gurunya’, masyarakat Barat dalam membangun peradaban modernnya ternyata lebih memilih untuk membangun worldview mereka sendiri. Bangsa barat memilih untuk bertolak dari satu titik ekstrim agama, menuju titik ekstrim lainnya yang berusaha membunuh agama. Tokoh-tokoh barat modern menolak semua agama sebagai landasan epistemologisnya, kemudian melakukan spekulasi filosofis yang nampaknya berhasil membuahkan revolusi di berbagai bidang, baik ekonomi, politik, maupun industrinya. Masalahnya, peradaban yang dibangun tanpa ruh agama ini tidak memiliki pijakan yang cukup kuat untuk mengikat hawa nafsu dan kesombongan akal manusia. Tak puas dengan apa yang telah dicapai, tokoh-tokoh ilmuan dan filosof barat terus berspekulasi dan membangun peradabannya di atas filsafat yang semakin membingungkan. Hasilnya, kemajuan yang awalnya berhasil memajukan taraf hidup mereka menggiring peradabannya menuju chaos yang lebih parah dibanding abad-abad sebelumnya. Sebut saja perang dunia yang diakhiri dengan bom atom dengan korban ratusan ribu jiwa dalam sekejap itu, yang bahkan dilanjutkan dengan penemuan nuklir yang lebih mengerikan. Inilah salah satu dampak ‘peradaban maju’ yang dibangun tanpa ruh agama. Meskipun tidak ada alasan rasional yang mampu menjabarkan kausalitas antara peradaban nihilis dengan kekacauan tersebut, minimal kita dapat merasakan sendiri korelasi dari keduanya.
Kegagalan Peradaban Barat dan Masalah Internal Kita
Umat Islam tentu saja tidak bisa mengklaim bahwa peradabannya yang dibangun di atas agama pasti aman dari kekacauan-kekacauan tersebut. Umat Islam dalam perjalanan sejarahnya hingga sekarang juga tidak cukup bersih untuk menjadi peradaban tanpa catatan hitam. Namun setidaknya, pijakan filsafat dan pandangan hidup Islam yang memiliki pijakan yang tsawabit, lalu ditopang dengan pilar-pilar muthaghoyyirot yang dinamis, secara teoritis lebih potensial dalam menghindari chaos tersebut. Islam semaju dan sebebas apapun madzhabnya, selama masih berdiri di atas fondasi dan pilar tsawabit dan muthaghoyyirotnya, perjalanan peradabannya memiliki imunitas genetik terhadap bahaya shopisme ala post modernisme seperti peradaban Barat. Filsafat peradaban yang dibangun dalam worldview Islam merupakan filsafat moderat yang tidak akan keluar dari koridor pengetahuan objektif, namun menjamin kebebasan berpendapat demi perkembangan peradaban yang lebih baik.
Hal ini tidak lain karena Islam memiliki bangunan pengetahuan yang canggih yang dikenal dengan nama madrosatul madzahib. Madrosah ini dengan otoritas yang ketat di dalamnya, menjamin kebebasan berpikir yang tidak akan kebablasan Sehingga jika ditemukan sempalan peradaban baru yang dibangun mengatasnamakan Islam, namun nampak barbar dan anti kemajuan, dapat dipastikan berada di luar tradisi madrosah ini. Sempalan ini meski dengan mudah dapat dikeluarkan dari Islam, namun tetap menjadi tantangan internal yang menjadi kewajiban kolektif bagi umat Islam untuk melawannya. Bahkan bagi setiap muslim adalah kewajiban untuk meyakini bahwa agama ini selalu dijaga kemurniannya, dengan tetap menjadi fondasi bagi setiap bangungan peradaban. Kesempurnaan Islam yang disebutkan dalam surat al Maidah ayat 3, oleh Fakhruddin al Razi dijelaskan bahwa Islam mampu memberikan komentar terhadap segala hal yang telah dan akan datang dalam dinamika peradaban. Namun yang perlu difahami, kesempurnaan ini dijamin dengan otoritas para ulama yang memahami benar interpretasinya, di tengah penyelewengan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri yang tidak memahami benar ajaran Islam, maupun pengaruh penyelewengan dari luar yang memiliki konflik kepentingan dengan peradaban Islam.
Madrosatul madzahib merupakan tradisi keilmuan yang sangat berlawanan dan kebal dengan doktrin-doktrin post modernisme yang tanpa otoritas, kebenaran, serta nilai. Begitu signifikan perannya, sehingga musuh-musuh Islam menjadikannya sebagai sasaran tembak pertama bagi ekstrim kanan yang literalis, maupun ekstrim kiri yang liberalis. Setiap usaha dekonstruksi dan penyelewengan ajaran-ajaran Islam, selalu dimulai dengan meruntuhkan otoritas dalam madrosatul madzahib ini. Tentu saja umat Islam yang masih memiliki iman tidak akan sulit memahami serangan dari ekstrim kiri yang liberal, namun bahaya ekstrim kanan yang literalis dan tanpa otoritas nyatanya menjangkit banyak sekali umat Islam yang semangat dalam menjalankan agama, namun malas dalam menimba ilmu pengetahuan. Dampaknya, umat Islam yang beriman relatif aman dari sekularisme dan pluralisme ala Barat modern, namun sangat rentan dengan relativisme-yang bahkan tanpa nilai- dan liberalisme yang dimulai dengan semangat anti otoritas ala post-modern. Karena liberalisme sejatinya bukan hanya tentang pengingkaran terhadap ajaran-ajaran agama, namun juga mencakup interpretasi agama yang tidak sesuai dengan maksud agama itu sendiri. Liberalisme dimulai dengan semngat anti otoritas serta membuka peluang termasuk kepada mereka yang tidak mampu untuk semaunya menafsirkan agama.
Penulis menyebut problem terakhir dengan liberalisme kanan, sebagai lawan dari liberalisme kiri yang jarang mendapat tanggapan serius dari aktivis anti liberalisme, namun seringkali mencoreng nama Islam melalui aksi-aksi terror mereka bahkan seringkali mengorbankan umat Islam sendiri. Liberalisme kanan ini merupakan bentuk ‘Islami’ dari pos modern Barat yang tanpa otoritas, kebenaran objektif, serta nilai-nilai yang positif, namun dalam kemasan yang mampu menipu orang-orang polos yang beriman. Liberalisme kanan ini juga cenderung anti dan mengharamkan banyak bidang ilmu pengetahuan, dan sering kali menabrakkan agama dengan ilmu pengetahuan, termasuk mengulang kembali aib yang menimpa gereja tentang persekusi yang mereka lakukan terhadap Galileo yang mengajukan teori Copernicus heliosentrisnya, meskipun sejauh ini masih dalam tataran teori mereka.
Pos-modern yang menjelma menjadi liberalism kanan-kiri Agama merupakan ancaman dan seharusnya dilawan dan diantisipasi menggunakan tradisi keilmuan umat Islam yang telah terbukti berabad-abad membangun peradabannya dalam semangat kebebasan berpendapat, namun tanpa efek negatif lepas dari substansi agama Islam dan aksi-aksi jahiliyah yang berarti. Dengan bangunan pengetahuan dan peradaban ilmiahnya yang menjelma dalam bentuk perpustakaan-perpustakaan besar di seluruh dunia, dengan tokoh-tokohnya yang otoritatif di setiap bidangnya. (wallahu a’lam).
Recent Comments