Dalam kesendiriannya di maqom yang tidak bisa dilewati oleh Jibril tersebut, ternyata baginda Nabi melihat ruh seorang yang tenggelam dalam cahaya ‘Arasy, Nabi pun bertanya, “siapa engkau? Apakah Malaikat? Ia menjawab “bukan”, Nabi pun kembali bertanya, “apakah seorang Nabi?” ia pun menjawab “bukan”. Nabi pun kembali bertanya” lantas siapa?”, kemudian ada suara yang menjawab “ia adalah seorang yang di dunia dengan lisan yang senantiasa basah berzikir mengingat Tuhannya, hatinya senantiasa terikat dengan masjid, serta tidak pernah melakukan perbuatan yang buruk terhadap orang tuanya sama sekali. Nabi pun bersujud dan Allah SWT mulai membuka hijab dan perintah sholat didawuhkan.

Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad al dardir dalam catatannya terhadap kisah isra’ mi’raj karya Najmuddin al Ghithy. Sebagian pihak meragukan kejadiannya, namun terlepas dari kontroversinya, ada banyak hikmah yang bisa direnungi dan dipetik manfaatnya oleh muslim yang mendambakan sholat yang sempurna dengan pengalaman mi’raj ( al sholat mi’raj al mu’min).

Dalam kisah Isra Mi’raj yang masyhur, baginda Nabi dalam perjalanannya mulai Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian berlanjut sampai ke sidratul muntaha senantiasa ditemani oleh malaikat Jibril. Hingga pada titik tertentu yang disebut sahabah, Jibril mundur dan mengundang tanya dari Beliau. “Apakah kekasih bisa meninggalkan kekasihnya? Jawaban Jibril, “ini adalah batasku, jika kulewati maka aku akan terbakar oleh cahaya-cahaya.

Melanjutkan kisah tersebut, al Dardir menyebutkan bahwa Nabi menyaksikan dan mendengar gerak makhluk yang awal-awal diciptkan Tuhan dalam sabdanya: “sesungguhnya diantara makhluk yang pertama diciptkan Tuhan adalah al Qolam, kemudian ia diperintahkan untuk menulis, maka menulislah ia (ketentuan dan takdir Tuhan) hingga hari kiamat”. Suara dari pergerakan qolam tersebut, didengar oleh baginda Nabi di tempat yang tidak bisa dilalui oleh Jibril, namun ternyata ada makhluk lain yang melewati tempat tersebut selain baginda Nabi, dan makhluk tersebut bukan malaikat bukan pula seorang Nabi.

Kisah ini kata beliau, tentu saja tidak menunjukkan keutaman pelaku dari 3 amalan utama tersebut memiliki maqom yang lebih tinggi dari Nabi-Nabi yang ditemui oleh baginda di setiap tingkatan langit yang ada, karena tidak ada manusia biasa yang lebih mulia dari para Nabi. Namun jika dibandingkan dengan malaikat, syarah dari kitab Jauharoh al Tauhid menyebutkan bahwa manusia tertentu bisa lebih mulia dari para penghulu malaikat, seperti sahabat Abu bakar yang memiliki keimanan luar biasa yang tanpa ragu membenarkan setiap kisah Nabi, termasuk isra dan mi’raj.

Dalam hal ini, filosofi sholat sebagai mi’rajnya seorang mu’min menemukan relevansinya. Sholat seorang hamba yang mem-fana-kan perilaku dan pandangannya dari selain Allah ta’ala, terlebih dari perbuatan dosa sekecil apapun, mampu menembus maqom yang tidak digapai oleh Malaikat, yang jelas-jelas tidak pernah berbuat dosa. Hal ini dikarenakan, upaya umat manusia yang diciptakan secara alami dengan hawa nafsu sebagai salah satu unsurnya, menjadikan usaha tersebut bernilai lebih tinggi di sisi Tuhan dibanding malaikat yang tidak diciptakan dengan hawa nafsu.

Jika direnungkan kembali kisah di atas, muslim yang sempurna ibadahnya setidaknya mengumpulkan tiga ibadah tanpa cacat salah satunya: pertama, senantiasa dalam keadaan berzikir kepada Allah ta’ala. Kedua, hatinya senantiasa siap melaksanakan sholat, sehingga terikat dan rindu kepada masjid sebagai tempat shalat dan sujudnya. Ketiga, tidak pernah durhaka kepada orang tuanya. Mengapa ketiga amalan tersebut harus digapai bersama agar ibadah sempurna? Ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil.

Pertama, keadaan selalu berzikir berdampak pada bersihnya hati dari jalur syaiton. Nabi menegaskan dalam sabdaNya: “segala sesuatu ada pembersihnya, maka pembersih hati adalah dzikir”. Hal ini jika dihayati lebih jauh, dapat diniatkan untuk mengikuti prosesi yang dialami baginda Nabi sebelum Isra dan Mi’raj, yaitu pembedahan hati untuk membuang ruang syaiton yang ada di hati Nabi, sebagai konsekuensi fisik Nabi yang seperti manusia pada umumnya. Meskipun tentu saja, setiap muslim wajib beriman ruang tersebut tidak pernah benar-benar disinggahi oleh syaiton.

Kedua, hati senantiasa siap menunggu dan melaksanakan sholat. Orang dengan kriteria ini, tentu saja rindu untuk bertemu dengan Tuhannya. Selain keutamaan berada dalam naunganNya pada hari kiamat, ia saat di dunia dapat menggapai derajat melebihi para malaikat. Hal ini disaksikan oleh Nabi SAW dalam hadisnya: “Maqom terdekat Allah ta’ala dengan hambaNya adalah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah do’a pada posisi tersebut”. Terlebih jika hamba tersebut memiliki kesadaran ‘ubudiyyah sehingga berdo’a dengan motif utama menjungjung perintah Allah SWT.

Ketika, tidak pernah durhaka kepad orang tua. Dalam teks cerita yang dikutip di atas, redaksi yang digunakan olen Nabi adalah ‘tidak pernah memancing cacian kepada orang tuanya’. Hal tersebut bisa terjadi jika seseorang mencela orang tua dari orang lain, sehingga dibalas dengan cacian kepada orang tuanya. Jika tindakan seperti itu saja tidak pernah dilakukan, tentu saja durhaka langsung kepada orang tua. Hal ini juga mencakup prilaku anak yang senantiasa menjaga sikap dan nama baik orang tua yang mendidiknya.

Kisar Isra dan Mi’raj tentu saja menimbulkan decak kagu di hati setiap orang yang beriman. Namun kagum saja tidak cukup, setiap muslim yang berakal tentu saja pandai mengambil hikmah di setiap alur ceritanya. Serta meneladaninya dalam perilaku sehari-hari sehingga menjadi muslim yang paripurna sebagai hambaNya.

Muhammad Syarwani, Komisi Fatwa MUI Provinsi Kalimantan Timur.