Sehari setelah Nusron Wahid berkicau di ILC, seperti biasa pernyataannya selalu disorot dan ditanggapi baik oleh pihak pro maupun kontra. Dalam penelusuran saya, ada dua tanggapan yang paling popular terhadap pernyataannya yang cukup keras menyerang MUI tersebut. Salah satunya adalah video alay dari ustad Yusuf Mansur yang  tidak akan saya tanggapi. Sedangkan tanggapan lain yang sedikit waras adalah adalah tulisan Dr Miftah el Banjari yang dipublikasikan oleh Situs JurnalMuslim. Berikut adalah tanggapan saya :
Pertama, Dr Miftah, entah secara licik dan sengaja ataupun memang bodoh membelokkan pernyataan Nusron dari siapa yang PALING berhak untuk menafsirkan menjadi siapa yang berhak untuk menafsirkan. Hal ini bisa dilihat dari kalimat yang digunakan oleh Nusron, mapun contoh yang dia sebutkan setelahnya. Berikut ini adalah transkip dari pernyataan Nusron tersebut[1]:

“Saya ingin menegaskan di sini, yang namanya teks apapun itu bebas tafsir bebas makna. Yang namanya al Qur’an, yang paling sah untuk menafsirkan yang paling tau tentang al Qur’an itu sendiri adalah Allah ta’ala dan Rasulnya”
“Yang paling tau tentang teks ya orang yang membuat teks itu sendiri. Dalam ilmu sastra, mas fadli senior saya di UI, ada namanya proses kreatif. Yang paling tau tentang makna puisinya taufik ismail ya taufik ismail. Bukan kita menerjemahkan seakan-akan. Karena itu kiai-Kiai saya guru-guru saya ulama-ulama saya dulu ketika memaknai al Quran saya ngaji tidak pernah mengklaim dirinya paling benar. Selalu ditutup dengan satu kalimat
والله أعلم بمراده , bahwa hanya Allah lah sesungguhnya yang paling tau tentang maknanya, bukan orang lain.

“Yang paling tau tentang apa yang disampaikan si Bu yani ya si Bu yani, Guntur bebas menafsirkan, karena itu perlu tabayun, malam ini dia menjelaskan, maksud saya tidak seperti itu. Yang paling tahu tentang apa yang disampaikan oleh ahok di pulau seribu ya Ahok, bukan orang lain. Itu ilmu Tafsir itu ilmu teks, hermentik. Karena itu dia tabayyun, dia menjelaskan, dia minta maaf.”

Bisa anda fahami dari transkip di atas bahwa Nusron hanya menjelaskan tentang otoritas pemilik teks sebagai penafsir pertama, tentu saja siapa pun berhak menafsirkan teks namun hanya pemilik teks lah yang paling mengerti seperti apa yang dimaksud.
Adapun stigma liberal yang disematkan Dr Miftah kepada Nusron adalah tuduhan sepihak dari Dr Miftah yang menurut saya masih bisa diperdebatkan. Bahkan andai Nusron sendiri mengakui dirinya sebagai liberal pun ia tetap memiliki hak untuk mengambil metode berpikir manapun yang ia anggap benar.

 

Ke dua, Dr Mifah kembali membelokkan pernyataan Nusron dari tidak ada terjemah al Quran yang memaknai awliya pemimpin menjadi tidak ada penafsir yang menafsirkan awliya dalam surah al Maidah ayat 51 itu bermakna pemimpin. Menurut saya, Nusron sudah benar bahwa hanya terjemah al Quran versi Bahasa Indonesia saja yang menerjemahkan awliya di situ sebagai pemimpin, sedangkan terjemah al Quran versi Bahasa lain menerjemahkannya dengan makna lain.

 

Ke tiga, saya setuju bahwa secara bahasa wali juga memiliki arti pemimpin. Namun wali dalam redaksi al Maidah ayat 51, sebagaimana yang saya temukan dalam banyak literatur tafsir adalah bermakna sekutu. Dr Miftah juga bertindak asal-asalan dalam mengutip tafsir dari ayat tersebut. Bagaimana sebenarnya tafsir ayat tersebut menurut ulama yang dikutip oleh Dr Miftah? Di bawah ini saya cantumkan redaksi aslinya

  1. Menurut Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalin adalah mengikuti dan mencintai mereka (orang Yahudi dan Nasrani).[2}

 

تفسير الجلالين – (1 / 147)
{ يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء } توالونهم وتوادونهم { بعضهم أولياء بعض } لاتحادهم في الكفر { ومن يتولهم منكم فإنه منهم } من جملتهم { إن الله لا يهدي القوم الظالمين } بموالاتهم الكفار

  1. Menurut Imam Baghowi dalam tafsirnya adalah sekutu dalam perang.[3]

تفسير البغوي – (3 / 67)
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ } اختلفوا في نزول هذه الآية وإن كان حكمها عاما لجميع المؤمنين.
فقال قوم: نزلت في عبادة بن الصامت وعبد الله بن أبي بن سلول، وذلك أنهما اختصما، فقال عبادة: إن لي أولياء من اليهود كثير عددهم شديدة شوكتهم، وإني أبرأ إلى الله وإلى رسوله من ولايتهم وولاية اليهود، ولا مولى لي إلا الله ورسوله، فقال عبد الله: لكني لا أبرأ من ولاية اليهود، لأني أخاف الدوائر، ولا بد لي منهم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: يا أبا الحباب ما نفست به من ولاية اليهود على عبادة بن الصامت فهو لك دونه، قال: إذًا أقبل، فأنزل الله تعالى هذه الآية
قال السدي: لما كانت وقعة أحد اشتدت على طائفة من الناس وتخوفوا أن يدال عليهم الكفار فقال رجل من المسلمين: أنا ألحق بفلان اليهودي وآخذ منه أمانا إني أخاف أن يدال علينا اليهود، وقال رجل آخر: أما أنا فألحق بفلان النصراني من أهل الشام وآخذ منه أمانا، فأنزل الله تعالى هذه الآية ينهاهما

  1. Menurut Abdurrahman bin Nasir al Sa’di (ahli tafsir kalangan Wahhabi) juga adalah sekutu dalam peperangan.[4]

تفسير السعدي – (1 / 235)
{ 51 – 53 } { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ * فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ * وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ } .
يرشد تعالى عباده المؤمنين حين بيَّن لهم أحوال اليهود والنصارى وصفاتهم غير الحسنة، أن لا يتخذوهم أولياء. فإن بَعْضهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يتناصرون فيما بينهم ويكونون يدا على من سواهم، فأنتم لا تتخذوهم أولياء، فإنهم الأعداء على الحقيقة ولا يبالون بضركم، بل لا يدخرون من مجهودهم شيئا على إضلالكم، فلا يتولاهم إلا من هو مثلهم، ولهذا قال: { وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ } لأن التولي التام يوجب الانتقال إلى دينهم. والتولي القليل يدعو إلى الكثير، ثم يتدرج شيئا فشيئا، حتى يكون العبد منهم.
{ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ } أي: الذين وصْفُهم الظلم، وإليه يَرجعون، وعليه يعولون. فلو جئتهم بكل آية ما تبعوك، ولا انقادوا لك.

Tindakan asal-asalan yang dilakukan oleh Dr Miftah ini sebenarnya bukan hal baru. Kalangan “muslim kapah” yang saya temui pun sering sekali menyebutkan judul tafsir apapun yang dihapalnya berdasarkan imajinasi mereka tentang tafsir ayat tersebut, tanpa terlebih dahulu membaca tafsir-tafsir tersebut karena terlalu yakin dengan imajinasi mereka atau guru-guru mereka. Karena itulah saya memiliki kaidah bahwa “muslim kapah dalam riwayat mereka adalah pembohong dan tukang fitnah sampai terbukti sebaliknya”.
Ke empat, Dr Miftah kembali keliru mengutip pernyataan Nusron tentang gubernur Kristen yang diangkat oleh khalifah. Nusron mengatakan bahwa khalifah yang mengangkat gubernur Kristen adalah al Mu’tadid billah dari dinasti Abbasiyah untuk wilayah Iraq. Sedangkan Dr Miftah mengatakan gubernur yang disebut oleh Nusron berasal dari dinasti Turki Ustmani. Sayangnya baik Nusron maupun Dr Miftah tidak menyebutkan referensi apapun mengenai gubernur Kristen ini dan saya sendiri juga tidak mampu melacaknya.

 

Ke lima, saya setuju dengan Dr Miftah bahwa mengangkat pemimpin non Muslim boleh dalam keadaan darurat sebagaimana hasil bahsul masail dari muktamar NU ke ke 30 di PP Lirboyo Kediri[5] yang mengutip dari pendapat Imam Ali Syibromalisi[7] dari kalangan penganut madzhab Syafi’i. Namun yang perlu saya garis bawahi perkara ini adalah perkara khilafiyah, yang berarti baik pihak yang mengatakan mengangkat pemimpin non muslim hukumnya haram maupun halal sama-sama memiliki landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Perbedaan pendapat antara saya dengan Dr Miftah adalah pemahaman dalam detail dari syarat-syarat untuk kasus tersebut yang akan saya bahas dalam tulisan terpisah.

 

Ke enam, sebenarnya Nusron juga memiliki kekeliruan dalam beberapa bagian dari pernyataanya. Namun yang menurut saya perlu dibahas adalah pendangannya bahwa surah al Maidah ayat 51 tidak ada kaitannya dengan politik. Saya sepakat bahwa tidak baik menggunakan ayat al Quran untuk kepentingan politik. Namun saya tidak sependapat bahwa al Maidah ayat 51 tidak ada kaitannya dengan politik. Dalam beberapa literature tafsir jelas bahwa ayat tersebut erat kaitannya dengan persekutuan-persekutuan dalam peperangan dan sahabat Umar menggunakannya sebagai dasar haram mengangkat pegawai pemerintah dari kalangan non muslim. Beberapa ahli fiqih juga menjadikan ayat tersebut sebagai dasar hukum haram memilih pemimpin non Muslim[6]. Namun begitu sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah yang mengundang perbedaan pendapat diantara ulama. Wallahu A’lam.

 

[1] Lihat: https://www(dot)youtube(dot)com/watch?v=VoYlo0lTARQ

[2] Suyuthi dan Mahalli, Tafsir al Jalalin, Jilid I, hal. 17

[3] Baghowi Husein, Ma’alim al Tanzil, Jilid III, hal. 67

[4]Sa’di Abdurrahman, Taysir al Karim al Rahman, Jilid I, hal 235

[5] Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan LTN-NU Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177, Lihat juga http://santri(dot)net/fiqih/fiqih-sosial/memilih-pemimpin-non-muslim-itu-boleh-asal/

[6] Lihat http://www(dot)fiqhmenjawab(dot)net/2016/09/bahtsul-masail-hukum-memilih-pemimpin-non-muslim/